Sembuhkan Autis Lewat Terapi Lumba-lumba
Tubuhnya yang besar meliuk-liuk dengan lincah. Siapa tak kenal lumba-lumba (dolphin)? Mahluk cerdas dan baik hati ini ternyata mampu membantu respons, bahkan menyembuhkan, anak autis.
BK/EMA
CERITA tentang kepahlawanan lumba-lumba sudah tersebar sejak dulu. Banyak kisah yang menggambarkan kemampuan lumba-lumba menolong orang yang terombang-ambing di tengah laut. Lumba-lumba pun semakin dekat dengan anak-anak melalui aksi-aksinya di sejumlah lokasi wisata.
Kecerdasan lumba-lumba ini pula yang dimanfaatkan para dokter untuk membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus (autis). Anak-anak ini suka berada di dalam air yang hangat sambil menyentuh tubuh dan mendengarkan suara lumba-lumba. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang bersama lumba-lumba dapat menyembuhkan penderita autis.
Manager Klinik Dolphin di Pulau Bidadari Endang Sumaryati SSiTFT SKM menyatakan, sejak berabad-abad lalu lumba-lumba yang dikenal sebagai makhluk sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak yang mengalami berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan sindroma down dan autisme.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus itu sangat suka berenang bersama lumba-lumba. Nah, inilah yang digunakan sebagai reward untuk anak yang memberi respons baik pada terapi perilaku. Misalnya pada terapi metoda ABA. Laporan dari berbagai negara menunjukkan, faktor interaksi itulah yang mempunyai efek positif terhadap manusia.
“Anak-anak pasti suka main air, apalagi main air sambil bermain dengan lumba-lumba. Anak-anak ini terlihat ceria saat berenang bersama lumba-lumba, bahkan mampu membuka pikiran,” jelasnya.
Pada dasarnya, lumba-lumba mengeluarkan suara dengan gelombang berfrekuensi tinggi. Gelombang inilah yang digunakan untuk mendeteksi bagian-bagian tubuh yang mengalami gangguan. Setelah terdeteksi, mamalia ini akan mengeluarkan daya akustik hingga satu kilowatt. Begitulah prinsip dasar terapi lumba-lumba.
Proses awal untuk mengenalkan lumba-lumba kepada anak dilakukan selama 10 kali pertemuan setiap hari. “Tahap berikutnya, anak bisa langsung menikmati bermain bersama lumba-lumba sehingga perkembangan pikiran dan tubuhnya mulai membaik. Perubahan tergantung pada kondisi masing-masing. Anak tersebut bisa sembuh setelah menjalami terapi selama sebulan namun bisa juga lebih,” ungkapnya.
Endang menyebutkan, ada anak dari Surabaya yang mengikuti terapi ini dan sembuh sembuh total hanya dalam satu bulan. “Sekarang, dia sudah bisa bergabung dengan anak-anak lain di sekolah umum,” katanya. Dia menyatakan, saat ini ada dua anak yang masih dalam pengawasan klinik terapi yang berlokasi di Pulau bidadari, Kepulauan Seribu ini. Kedua anak adalah Billi (10) dan Akbar (10).
Therapi tahap awal yang diberikan adalah berenang sebagai bagian tujuan pengenalan air bersama lumba-lumba. “Anak diberikan pengamanan khusus dengan pelampung di kedua pangkal lengan agar tubuhnya bisa lebih seimbang saat dilakukan terapi,” kata Endang.
Billi dan Akbar memiliki kondisi tubuh berbeda, yaitu hiperaktif dan hipoaktif. “Setelah menjalani terapi, perkembangan Akbar sudah mulai terlihat sekitar sebulan sedangkan Billi baru terlihat sekitar tiga bulan kemudian,” ungkapnya.
Perkembangan yang terlihat dari kedua anak dengan kebutuhan khusus tersebut cukup besar. Salah satunya adalah meningkatkan perkembangan kognitif dan tingkah laku anak. “Dengan menggunakan therapi dolpin, anak yang mengalami kesulitan berbicara, lambat-laun tampak terlihat perkembangannya. Paling tidak, meskipun terbata-bata namun mulai jelas. Perkembangan tingkah laku mulai meningkat. Setidaknya, mereka bisa bersosialisasi dengan orang lain,” jelasnya.
O ema
Billi & Akbar Pun Mulai Lancar Bicara
KECERIAAN dan kegembiraan dua anak ini tampak terasa. Ya, Billi dan Akbar adalah dua bocah yang termasuk dalam kebutuhan khusus. Keduanya tampak asyik berenang dan bermain bersama lumba-lumba (dolphin). Kedua bocah ini tampak pintar mengikuti tubuh lumba-lumba, yang berenang sambil meliuk-meliuk mengikuti arus air. Kedua anak ini berteriak, “Asyik…. Lumba-lumbanya cepat.”
BK/EMA
Ternyata, terapi dengan memanfaatkan kelebihan lumba-lumba terbukti ampuh. Yani, nenek Billi, mengakui bahwa perkembangan cucunya cukup drastis. Sebelum mengikuti terapi, Billi tidak bisa berbicara dengan baik dan jelas. Setelah mengikuti therapy dolphin, perkembangan bicara Billi mulai terlihat.
“Sebelumnya, bicara Billi tidak jelas, bahkan lafal bicaranya juga tidak terlalu baik. Setelah mengikuti therapy dolphin, terlihat perkembangan gaya bicaranya mulai baik. Lafalnya juga sudah jelas,” ungkap Yani, yang sudah tiga bulan ini mengantarkan Billi untuk mengikuti terapi di Pulau Bidadari.
Melihat perkembangan yang cukup drastis, Yani mengaku akan meneruskan pengobatan therapy dolphin ini sampai Billi memiliki perkembangan setidaknya sama dengan anak lain. “Tingkah-laku Billi yang sudah berusia 10 itu seperti anak-anak di bawah lima tahun. Apa-apa harus dibujuk. Kalau tidak dituruti, ngambek. Dengan therapy dolphin, sifat ngambeknya mulai berkurang tapi memang masih sering ngambek,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Via, orangtua Akbar. Menurut Via, perkembangan Akbar sudah terlihat membaik. Salah satunya pada lafal bicara yang sebelumnya tidak jelas. “Sekarang, ucapan Akbar sudah dapat dimengerti dan mulai jelas. Dia pun sudah tidak takut lagi dengan orang yang baru dikenal. Hasilnya memang sudah terlihat,” jelasnya.
Sayang, therapy dolphin ini membutuhkan uang yang tidak sedikit. Via harus menguras kocek dalam-dalam, apalagi selama tiga bulan lebih mengikuti terapi ini. Setidaknya, dia harus mengeluarkan uang Rp500 ribu setiap hari, ditambah biaya transportasi ke Pulau Bidadari.
“Biaya therapy dolphin sekitar Rp150 ribu sedangkan lokasi terapi ada di Pulau Bidadari. Kami harus menyeberang laut. Ditambah persiapan dan kebutuhan lain, sekali terapi dibutuhkan lebih dari Rp500 ribu,” jelas Via, yang mengaku tinggal di kawasan Bogor.
Via pun berharap agar lokasi terapi bisa dipindahkan dari Pulau Bidadari. “Kalau lokasi terapi ini dekat rumah, mungkin kami bisa melakukan terapi setiap hari. Karena sekarang jauh dari rumah, kami hanya dua kami sepekan melakukan terapi tahap awal ini,” ujarnya. O ema
Dari Getar Sonar Hingga Energi
PADA awal 1970, keuntungan hadirnya binatang untuk pasien telah ditemukan. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan sejumlah riset menyangkut aspek psikologis kontak antara pasien dan semua jenis binatang.
Lumba-lumba masuk dalam pertimbangan ketika Dr Betsy Smith memulai riset lumba-lumba dan anak-anak penderita autis di Florida. Proyek ini disebut sebagai Proyek Lumba-lumba. Pada 1978, psikolog saraf dan ilmuwan perilaku Dr David E Nathanson mulai mengamati dampak lumba-lumba untuk anak-anak cacat di ‘Dunia Lautan’ Ft Lauderdale, Florida.
Rangkaian pengembangan eksperimen menuju pada kaitan bahasa yang dikontrol hati-hati dengan menggunakan lumba-lumba sebagai guru untuk anak-anak dengan sindrom down. Diketahui, kehadiran lumba-lumba memberikan keuntungan berbeda pada anak-anak dalam hal memroses informasi untuk belajar. Anak-anak terlihat lebih cepat belajar dengan meningkatnya sensor perhatian, terutama pada anak lemah mental. Pada 1988, Nathanson memulai program terapi di Pusat Riset Lumba-lumba, Grassy Key, Florida yang disebut Terapi Manusia Lumba-lumba (DHT).
Pada 1989-1994, lebih dari 500 anak dengan kebutuhan khusus mendapatkan kesempatan mengikuti program Nathansons, yang di kemudian hari pindah ke Key Largo, Florida. Lumba-lumba menggunakan getaran sonar unik untuk mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia lalu menenangkannya sehingga lebih mudah menerima pelajaran dan penyembuhan. Banyak pula ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai sentuhan dan berenang dengan dengan lumba-lumba hanya sebagai rekreasi.
David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurologi, menciptakan alat khusus untuk mengukur efek lumba-lumba pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada perubahan faali bila manusia berinteraksi dengan lumba-lumba. Setelah interaksi didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang.
Banyak peneliti berpendapat, relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan dolphin therapy. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang sistem kekebalan tubuh. Energi dari lumba-lumba bisa menimbulkan suatu fenomena cavitasi (pembuatan lubang). Energi tersebut dapat membuat robekan, bahkan lubang, pada struktur molekuler dan tissue yang lembut.
Cole percaya, hal ini bisa mengubah metabolisme selular dan terjadi pelepasan hormon atau endorphin yang merangsang pembentukan sel-T (sistem kekebalan). Banyak yang percaya pada teori cavitasi ini namun banyak pula ilmuwan yang bersikap skeptis. O ema
Tubuhnya yang besar meliuk-liuk dengan lincah. Siapa tak kenal lumba-lumba (dolphin)? Mahluk cerdas dan baik hati ini ternyata mampu membantu respons, bahkan menyembuhkan, anak autis.
BK/EMA
CERITA tentang kepahlawanan lumba-lumba sudah tersebar sejak dulu. Banyak kisah yang menggambarkan kemampuan lumba-lumba menolong orang yang terombang-ambing di tengah laut. Lumba-lumba pun semakin dekat dengan anak-anak melalui aksi-aksinya di sejumlah lokasi wisata.
Kecerdasan lumba-lumba ini pula yang dimanfaatkan para dokter untuk membantu anak-anak dengan kebutuhan khusus (autis). Anak-anak ini suka berada di dalam air yang hangat sambil menyentuh tubuh dan mendengarkan suara lumba-lumba. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah terapis dan psikolog berpendapat bahwa berenang bersama lumba-lumba dapat menyembuhkan penderita autis.
Manager Klinik Dolphin di Pulau Bidadari Endang Sumaryati SSiTFT SKM menyatakan, sejak berabad-abad lalu lumba-lumba yang dikenal sebagai makhluk sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak yang mengalami berbagai gangguan saraf, bahkan anak dengan sindroma down dan autisme.
Anak-anak dengan kebutuhan khusus itu sangat suka berenang bersama lumba-lumba. Nah, inilah yang digunakan sebagai reward untuk anak yang memberi respons baik pada terapi perilaku. Misalnya pada terapi metoda ABA. Laporan dari berbagai negara menunjukkan, faktor interaksi itulah yang mempunyai efek positif terhadap manusia.
“Anak-anak pasti suka main air, apalagi main air sambil bermain dengan lumba-lumba. Anak-anak ini terlihat ceria saat berenang bersama lumba-lumba, bahkan mampu membuka pikiran,” jelasnya.
Pada dasarnya, lumba-lumba mengeluarkan suara dengan gelombang berfrekuensi tinggi. Gelombang inilah yang digunakan untuk mendeteksi bagian-bagian tubuh yang mengalami gangguan. Setelah terdeteksi, mamalia ini akan mengeluarkan daya akustik hingga satu kilowatt. Begitulah prinsip dasar terapi lumba-lumba.
Proses awal untuk mengenalkan lumba-lumba kepada anak dilakukan selama 10 kali pertemuan setiap hari. “Tahap berikutnya, anak bisa langsung menikmati bermain bersama lumba-lumba sehingga perkembangan pikiran dan tubuhnya mulai membaik. Perubahan tergantung pada kondisi masing-masing. Anak tersebut bisa sembuh setelah menjalami terapi selama sebulan namun bisa juga lebih,” ungkapnya.
Endang menyebutkan, ada anak dari Surabaya yang mengikuti terapi ini dan sembuh sembuh total hanya dalam satu bulan. “Sekarang, dia sudah bisa bergabung dengan anak-anak lain di sekolah umum,” katanya. Dia menyatakan, saat ini ada dua anak yang masih dalam pengawasan klinik terapi yang berlokasi di Pulau bidadari, Kepulauan Seribu ini. Kedua anak adalah Billi (10) dan Akbar (10).
Therapi tahap awal yang diberikan adalah berenang sebagai bagian tujuan pengenalan air bersama lumba-lumba. “Anak diberikan pengamanan khusus dengan pelampung di kedua pangkal lengan agar tubuhnya bisa lebih seimbang saat dilakukan terapi,” kata Endang.
Billi dan Akbar memiliki kondisi tubuh berbeda, yaitu hiperaktif dan hipoaktif. “Setelah menjalani terapi, perkembangan Akbar sudah mulai terlihat sekitar sebulan sedangkan Billi baru terlihat sekitar tiga bulan kemudian,” ungkapnya.
Perkembangan yang terlihat dari kedua anak dengan kebutuhan khusus tersebut cukup besar. Salah satunya adalah meningkatkan perkembangan kognitif dan tingkah laku anak. “Dengan menggunakan therapi dolpin, anak yang mengalami kesulitan berbicara, lambat-laun tampak terlihat perkembangannya. Paling tidak, meskipun terbata-bata namun mulai jelas. Perkembangan tingkah laku mulai meningkat. Setidaknya, mereka bisa bersosialisasi dengan orang lain,” jelasnya.
O ema
Billi & Akbar Pun Mulai Lancar Bicara
KECERIAAN dan kegembiraan dua anak ini tampak terasa. Ya, Billi dan Akbar adalah dua bocah yang termasuk dalam kebutuhan khusus. Keduanya tampak asyik berenang dan bermain bersama lumba-lumba (dolphin). Kedua bocah ini tampak pintar mengikuti tubuh lumba-lumba, yang berenang sambil meliuk-meliuk mengikuti arus air. Kedua anak ini berteriak, “Asyik…. Lumba-lumbanya cepat.”
BK/EMA
Ternyata, terapi dengan memanfaatkan kelebihan lumba-lumba terbukti ampuh. Yani, nenek Billi, mengakui bahwa perkembangan cucunya cukup drastis. Sebelum mengikuti terapi, Billi tidak bisa berbicara dengan baik dan jelas. Setelah mengikuti therapy dolphin, perkembangan bicara Billi mulai terlihat.
“Sebelumnya, bicara Billi tidak jelas, bahkan lafal bicaranya juga tidak terlalu baik. Setelah mengikuti therapy dolphin, terlihat perkembangan gaya bicaranya mulai baik. Lafalnya juga sudah jelas,” ungkap Yani, yang sudah tiga bulan ini mengantarkan Billi untuk mengikuti terapi di Pulau Bidadari.
Melihat perkembangan yang cukup drastis, Yani mengaku akan meneruskan pengobatan therapy dolphin ini sampai Billi memiliki perkembangan setidaknya sama dengan anak lain. “Tingkah-laku Billi yang sudah berusia 10 itu seperti anak-anak di bawah lima tahun. Apa-apa harus dibujuk. Kalau tidak dituruti, ngambek. Dengan therapy dolphin, sifat ngambeknya mulai berkurang tapi memang masih sering ngambek,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Via, orangtua Akbar. Menurut Via, perkembangan Akbar sudah terlihat membaik. Salah satunya pada lafal bicara yang sebelumnya tidak jelas. “Sekarang, ucapan Akbar sudah dapat dimengerti dan mulai jelas. Dia pun sudah tidak takut lagi dengan orang yang baru dikenal. Hasilnya memang sudah terlihat,” jelasnya.
Sayang, therapy dolphin ini membutuhkan uang yang tidak sedikit. Via harus menguras kocek dalam-dalam, apalagi selama tiga bulan lebih mengikuti terapi ini. Setidaknya, dia harus mengeluarkan uang Rp500 ribu setiap hari, ditambah biaya transportasi ke Pulau Bidadari.
“Biaya therapy dolphin sekitar Rp150 ribu sedangkan lokasi terapi ada di Pulau Bidadari. Kami harus menyeberang laut. Ditambah persiapan dan kebutuhan lain, sekali terapi dibutuhkan lebih dari Rp500 ribu,” jelas Via, yang mengaku tinggal di kawasan Bogor.
Via pun berharap agar lokasi terapi bisa dipindahkan dari Pulau Bidadari. “Kalau lokasi terapi ini dekat rumah, mungkin kami bisa melakukan terapi setiap hari. Karena sekarang jauh dari rumah, kami hanya dua kami sepekan melakukan terapi tahap awal ini,” ujarnya. O ema
Dari Getar Sonar Hingga Energi
PADA awal 1970, keuntungan hadirnya binatang untuk pasien telah ditemukan. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan sejumlah riset menyangkut aspek psikologis kontak antara pasien dan semua jenis binatang.
Lumba-lumba masuk dalam pertimbangan ketika Dr Betsy Smith memulai riset lumba-lumba dan anak-anak penderita autis di Florida. Proyek ini disebut sebagai Proyek Lumba-lumba. Pada 1978, psikolog saraf dan ilmuwan perilaku Dr David E Nathanson mulai mengamati dampak lumba-lumba untuk anak-anak cacat di ‘Dunia Lautan’ Ft Lauderdale, Florida.
Rangkaian pengembangan eksperimen menuju pada kaitan bahasa yang dikontrol hati-hati dengan menggunakan lumba-lumba sebagai guru untuk anak-anak dengan sindrom down. Diketahui, kehadiran lumba-lumba memberikan keuntungan berbeda pada anak-anak dalam hal memroses informasi untuk belajar. Anak-anak terlihat lebih cepat belajar dengan meningkatnya sensor perhatian, terutama pada anak lemah mental. Pada 1988, Nathanson memulai program terapi di Pusat Riset Lumba-lumba, Grassy Key, Florida yang disebut Terapi Manusia Lumba-lumba (DHT).
Pada 1989-1994, lebih dari 500 anak dengan kebutuhan khusus mendapatkan kesempatan mengikuti program Nathansons, yang di kemudian hari pindah ke Key Largo, Florida. Lumba-lumba menggunakan getaran sonar unik untuk mengindentifikasi gangguan saraf pada manusia lalu menenangkannya sehingga lebih mudah menerima pelajaran dan penyembuhan. Banyak pula ilmuwan yang berpendapat bahwa anak-anak hanya menyukai sentuhan dan berenang dengan dengan lumba-lumba hanya sebagai rekreasi.
David Cole, seorang ilmuwan dalam bidang neurologi, menciptakan alat khusus untuk mengukur efek lumba-lumba pada otak manusia. Cole mendapatkan bahwa ada perubahan faali bila manusia berinteraksi dengan lumba-lumba. Setelah interaksi didapatkan bahwa anak-anak tersebut menjadi lebih tenang.
Banyak peneliti berpendapat, relaksasi inilah yang merupakan penyebab keberhasilan dolphin therapy. Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang sistem kekebalan tubuh. Energi dari lumba-lumba bisa menimbulkan suatu fenomena cavitasi (pembuatan lubang). Energi tersebut dapat membuat robekan, bahkan lubang, pada struktur molekuler dan tissue yang lembut.
Cole percaya, hal ini bisa mengubah metabolisme selular dan terjadi pelepasan hormon atau endorphin yang merangsang pembentukan sel-T (sistem kekebalan). Banyak yang percaya pada teori cavitasi ini namun banyak pula ilmuwan yang bersikap skeptis. O ema